TAT
TWAM ASI
Tat Twam Asi adalah kalimat Sanskerta.
Secara harfiah, kalimat ini berarti "Itu adalah kau".
Kalimat ini merupakan salah satu Mahāvākya dalam Sanatana Dharma berlandaskan Weda (hindu).
Umumnya manusia lebih memikirkan egonya sendiri
seolah-olah dunia ini menjadi miliknya sendiri. Diberi satu minta dua, diberi
dua minta tiga, diberi tiga minta seratus, diberi seratus minta satu juta dan
seterusnya. Tidak ada kepuasan yang ada dalam diri seorang manusia. Tragisnya
dari jutaan manusia yang ada di dunia ini jika satu dengan lainnya memiliki
sifat egoisnya sendiri-sendiri, maka cepatlah rusak dunia ini. Bayangkan saja,
jika sudah menguasai hutan, maka ia bisa bertindak seenaknya sendiri untuk
mendapatkan keuntungan demi memuaskan egonya.
Setiap agama yang ada di dunia ini tidak mengajarkan manusia untuk hidup sendiri-sendiri.
Islam sendiri mengajarkan manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu dengan lainnya.
Demikian juga Hindu yang terkenal dengan ajaran Tat Twam Asi.
Arti sebenarnya dari Tat Twam Asi adalah "aku adalah engkau, engkau adalah aku."
Intinya adalah engkau dan aku adalah sama.
Ajaran Tat Twam Asi ini juga dipraktekkan dalam
perjuangan pemimpin India Mahatma Ghandi dalam memerangi penjajah Inggris di
negeri tersebut. Kalau kita mempelajari Tat Twam Asi secara sekilas, maka hal
itu tampak remeh. Padahal jika didalami, makna yang ada sangatlah besar.
Tidak ada perbedaan antara manusia satu dengan lainnya. Semuanya berasal dari
satu yakni GUSTI KANG MURBEHING DUMADI (Tuhan Yang Maha Esa). Dan nantinya jika kehidupan yang dilakoni di dunia
ini sudah usai, maka makhluk hidup semuanya juga akan kembali ke satu, GUSTI
INGKANG MAHA SUCI (Allah SWT).
Dalam ajaran Tat Twam Asi tidak hanya terbatas antara manusia dengan manusia
lainnya. Tetapi juga antara manusia dengan hewan dan tumbuhan. Seperti
disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa ada dua hakekat manusia hidup di dunia
ini.
1. Tansah Manembah Marang GUSTI ALLAH
2. Apik Marang Sak Padha-Padhaning Ngaurip.
Nah, “apik marang sak padha-padhaning Ngaurip” itu bukan hanya antara manusia yang satu dengan
lainnya, tetapi juga pada hewan dan tumbuhan. Kalau tidak ada keperluan,
janganlah menyakiti tumbuhan dan hewan. Pasalnya, tumbuhan dan hewan itu juga
sama-sama hidup, mereka juga bernyawa.
Jika kita bisa menjaga keharmonisan antara sesama manusia, hewan dan tumbuhan,
maka kita sudah menerapkan HAMEMAYU HAYUNING BAWONO (berusaha membuat cantiknya dunia). Oleh karena itu, manusia harus
hidup saling hormat menghormati antara manusia yang satu dengan lainnya. Kalau
Anda ingin dihormati, maka Anda harus menghormati orang lain dulu. Janganlah
kita merasa orang harus menghormati kita dan kita lebih pintar, lebih kaya dan
lebih-lebih lainnya dari orang lain.
Dengan Begitu, kita sudah bisa mengenal dan lebih mendalami arti Tat Twam Asi dan Hamemayu Hayuning Bawono yang merupakan satu dari hakekat hidup yang
ditugaskan GUSTI ALLAH pada kita.
BERIBADAH DENGAN KETULUSAN (HATI)
MENGHARAP HANYA KARENA ATAS RIDHO’-NYA
Indonesia kini tengah diuji oleh GUSTI KANG MAHA SUCI (Allah SWT). Hal itu terbukti dengan banyaknya bencana
yang terjadi di Bumi Ibu Pertiwi ini. Dari saratnya bencana yang terjadi di
Indonesia (termasuk
covid’19), semestinya kita
melakukan koreksi di dalam diri masing-masing. Banyak ibadah yang sudah kita
lakukan, tetapi kenapa bencana demi bencana menerpa tanah air tercinta.
Mari kita sama-sama menyimak ibadah yang telah kita lakukan selama ini dengan
tidak menyalahkan cara ibadah yang satu dengan lainnya. Rata-rata kita ini
terpaku pada kuantitas (banyaknya jumlah)
dalam hal menjalankan ibadah. Tetapi tidak terpikirkan sedikitpun bahwa GUSTI ALLAH
itu sebenarnya lebih mementingkan kualitas (inti) dari sebuah ibadah.
Kata-kata "ibadah" sendiri diambil dari bahasa Arab yaitu
"Abada/A'budu" yang artinya menyembah. Yang dimaksud menyembah di
sini bukan hanya sekedar menyembah dan gugur kewajiban dalam melakukan ritual
ibadah. Tetapi semata-mata setiap ibadah yang kita lakukan harus senantiasa
diperuntukkan bagi GUSTI ALLAH semata. Maksudnya, dalam menyembah GUSTI ALLAH
tersebut, seseorang tidak ingin mendapat pujian dari orang lain. Ada pepatah
Jawa yang bunyinya "Ojo mung kepingin di wah, mengko mundhak ora oleh
uwoh" (Jangan beribadah hanya untuk mendapatkan wah/pujian dari orang
lain, nanti tidak akan mendapatkan buahnya).
Lha bagaimana sebuah ibadah bisa dikatakan berkualitas? Ibadah itu bisa dikatakan
berkualitas jika memenuhi beberapa kriteria.
1. Menyembah hanya pada GUSTI ALLAH semata
2. Mampu menghadirkan rasa dalam manembah (dalam Islam Shalat)
Nah, kriteria yang kedua ini cenderung sangat sulit untuk dilakukan. Jika kita
manembah GUSTI ALLAH tetapi rasa yang kita miliki tidak ikut terlibat, maka
panembah tersebut cenderung tidak ada artinya dan hanya gugur kewajiban semata.
Cara untuk menghadirkan rasa adalah meresapi setiap ibadah yang dilakukan
hingga rasa kita ikut manembah pada GUSTI ALLAH. Pertanyaannya, rasa yang mana
yang harus hadir saat manembah GUSTI ALLAH? Rasa di sini bukan berarti rasa
manis, pahit, asam atau lainnya. Dan juga bukan rasa sakit, rasa gembira, rasa
sedih dan lainnya, melainkan rasa hati nurani.
Memang tidak mudah untuk bisa 'mengajak' rasa hati nurani untuk hadir dalam
setiap ibadah yang dilakukan. Tetapi, itu bukanlah hal yang mustahil. Tentu
saja dengan latihan secara rajin dan terus menerus. Insya Allah dengan begitu
maka semua ibadah akan berarti banyak di depan GUSTI ALLAH. Amiin.
Ditulis ulang rangkuman berbagai dari
sumber tulisan tentang kebaikan agama.
Kula; #larenDusun #kakangserayu
#parta_sentanu #laksmierahma
Kata-kata Jawa
>
Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi
orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu
akan lebih baik, tapi sekecil apapun manfaat yang dapat kita berikan, jangan
sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat).
> Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Manusia hidup
di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta
memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
> Sura Dira Jayaningrat, Lebur
Dening Pangastuti (segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya
bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar).
> Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji,
Sugih Tanpa Bandha (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa
merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan,
kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar